Oleh: KH Abdul Wasik Hannan (Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Probolinggo)
MUI Kabupaten Probolinggo – Takbiran terdengar di mana-mana. Tapi seperti gema yang ragu.
Di sela-sela itu, suara lain menyusup: musik dari sound gede, memekakkan. Menggetarkan kaca jendela, bahkan genteng rumah. Bukan gema kalimat suci, tapi dentum bass yang tak tahu malu.
Di musala dan masjid, takbiran masih ada. Tapi sedikit. Kadang hanya rekaman yang mengalun dari speaker tua. Yang sungguh-sungguh bertakbir, tak banyak. Seperti bayang-bayang dari masa lalu yang enggan sepenuhnya pergi.
Yang ramai justru suara hiburan. Orang-orang lebih banyak berkumpul di depan lampu yang menari menonton gemerlap menyanyi dengan semangat sendiri-sendiri. Khusuk.
Ini malam hari raya. Tapi mungkin bukan malam yang sama untuk setiap hati. Ada yang menyebut nama Tuhan, ada yang sekadar menyebutkan lagu berikutnya.
Dan malam ini, yang benar-benar menggetarkan bukan lagi gema takbir, melainkan sound system.
Tapi siapa yang tahu isi hati masing-masing? Mungkin ada yang berzikir di tengah hingar. Mungkin ada yang berdoa diam-diam di antara lagu remix.
Karena kadang, yang suci tak selalu berada di tempat sunyi. Dan yang gaduh, belum tentu lupa pada yang Maha. Tapi malam ini tetap terasa ganjil. Seolah gema takbir datang sebagai tamu, bukan tuan rumah. (*)